Kematangan Budaya Keselamatan

Tenaga kesehatan berperan penting dalam memperbaiki perilaku dalam pemberian pelayanan yang mencerminkan budaya mutu dan budaya keselamatan. Budaya keselamatan pasien juga dikenal sebagai budaya yang aman, yakni sebuah budaya organisasi yang mendorong setiap individu anggota staf (klinis atau administratif) melaporkan hal-hal yang menghawatirkan tentang keselamatan atau mutu pelayanan tanpa imbal jasa (Kepmenkes 165 Tahun 2023). Ruang lingkup budaya keselamatan tentunya tidak hanya bertujuan untuk keselamatan pasien tapi juga ditujukan untuk keselamatan petugas.  Ada berbagai definisi budaya keselamatan diantaranya adalah sebagai berikut :

  • INSAG, 1991 : Budaya keselamatan dibentuk oleh faktor kesadaran individu akan pentingnya keselamatan, pengetahuan, kompetensi, komitmen manajemen dan pekerja, motivasi pemimpin dan supervisi.
  • WHO, 2006 : Budaya keselamatan berkaitan dengan manajemen risiko dan keselamatan.
  • Carthey & Clare, 2009 : Budaya keselamatan terdiri dari open culture, just culture, reporting culture, learning culture, informed culture.
  • Great Britain, 2011 : Budaya keselamatan yang posistif akan mengurangi angka insiden dan kecelakaan di pelayanan kesehatan.
  • Morello, 2013 : Budaya keselamatan merupakan bagian dari budaya organisasi.
  • Cooper, 2016 : Budaya keselamatan meliputi aspek individu, situasional/sistmen manajemen keselamatan, perilaku.
  • Griffin & Curcuroto, 2016 : Budaya keselamatan dapat mengarahkan perilaku individu dalam suatu organisasi.
  • Hardy, 2017 : Budaya keselamatan merupakan (core concept), dimana DNA of Care adalah Safety, Quality and Culture.
  • AHRQ, 2018 : Budaya keselamatan memiliki tingkat berbeda di tiap unit dan akan berdampak pada budaya keselamatan organisasi menyeluruh.
  • Wagner et al, 2018 : Budaya keselamatan adalah nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku individu dari kelompok yang menggambarkan komitmen sebuah organisasi dalam mengelola kesehatan dan keselamatan.

Perilaku tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan perlu mencerminkan budaya mutu dan keselamatan. Perilaku terkait budaya keselamatan (Kepmenkes 165 Tahun 2023) berupa :

  • Penyediaan layanan yang baik, termasuk pengambilan keputusan bersama.
  • Bekerjasama dengan pasien.
  • Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
  • Bekerjasama dalam sistem layanan kesehatan.
  • Meminimalisir risiko.
  • Mempertahankan kinerja professional.
  • Perilaku profesional dan beretika.
  • Memastikan pelaksanaan proses pelayanan yang terstandar.
  • Upaya peningkatan mutu dan keselamatan termasuk keterlibatan dalam pelaporan dan tindak lanjut insiden.

Tenaga kesehatan sebisa mungkin menghindari perilaku yang tidak mendukung budaya  keselamatan (Kepmenkes 165 Tahun 2023)  seperti :

  • Perilaku yang tidak layak (inappropriate), antara lain, penggunaan kata atau bahasa tubuh yang merendahkan atau menyinggung perasaan sesama staf, misalnya mengumpat dan memaki.
  • Perilaku yang mengganggu (disruptive), antara lain, perilaku tidak layak yang dilakukan secara berulang, bentuk tindakan verbal atau non verbal yang membahayakan atau mengintimidasi staf lain, komentar sembrono di depan pasien yang berdampak menurunkan kredibilitas staf klinis lain, misalnya dengan mengomentari negatif hasil tindakan atau pengobatan staf lain di depan pasien dengan mengatakan, “Obatnya ini salah. Tamatan mana dia?”, melarang perawat untuk membuat laporan insiden, memarahi staf klinis lainnya di depan pasien, atau kemarahan yang ditunjukkan dengan melempar membuang rekam medis di ruang rawat.
  • Perilaku yang melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama, suku termasuk gender.
  • Pelecehan seksual.
  • Sampai sejauh mana suatu fasilitas pelayanan kesehatan mengimplementasikan budaya mutu keselamatan menunjukan tingkat kematangan budaya keselamatan. Ada berbagai definisi terkait kematangan budaya keselamatan.diantaranya adalah :
  • Fleming , 2001 : Organisasi dipandang sebagai kemajuan secara berurutan melalui tahapan dengan membangun kekuatan dan menghilangkan kelemahan dari tingkat sebelumnya.
  • Becker et al, 2009 : Langkah-Langkah perbaikan berdasarkan hasil analisis dan rekomendasi untuk diprioritaskan untuk mencapai tingkat kematanagan yang lebih tinggi.
  • Gulden-mund, 2010 : Menggambarkan sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan insiden dan pencegahan kecelakaan, pelaporan, investigasi dan solusi kecelakaan. Kematangan merupakan pengembangan budaya keselamatan yang berjalan dinamis mengikuti proses dan implementasi dari system manajemen keselamatan pada suatu organisasi.
  • Maier et al, 2012 :  Model kematangan budaya keselamatan digunakan sebagai alat / tools penilaian dan perbaikan.

Kematangan budaya keselamatan menurut Manchester Patient Safety Famework (MaPSaF) terdiri dari lima tingkat, dimulai dari tingkat yang rendah sampai dengan tingkat yang tinggi yaitu pathological (patologi), reactive (reaktif), bureaucractic (birokratis), proactive (proaktif)   dan generative (generative) (MaPSaF, 2006), tergantung respons dari organisasi terhadap isu keselamatan yang diterima.

  • Pathological : Organisasi dengan sikap yang berlaku “ mengapa kitab uang waktu pada keselamatan” dan hanya sedikit atau tidak ada investasi dalam meningkatkan keselamatan.
  • Reactive : Organisasi yang hanya memikirkan keamanan setelah insiden terjadi.
  • Bureaucratic : Organisasi yang sangat berbasis kertas dan keselamatan melibatkan kotak centang untuk membuktikan kepada auditor dan penilai bahwa mereka berfokus pada keselamatan.
  • Proactive : Organisasi yang menempatkan nilai tinggi pada peningkatan keselamatan, aktif berinvenstasi dalam peningkatan keselamatan berkelanjutan, dan memberi penghargaan kepada staf yang meningkatkan masalah terkait keselamatan.
  • Generative : Surga dari semua organisasi keselamatan dimana keselamatan merupakan bagian integral dari semua yang mereka lakukan. Dalam organisasi Generatif, keselamatan benar-benar ada dalam hati dan pikiran semua orang mulai dari manajer senior hingga staf garis depan.

 Manchester Patient Safety Framework- MaPSaF

(Tingkat Kematangan dalam Budaya Keselamatan)

Sumber : Diolah dari Parker, 2014, “Assesing patient safety using the Manchester Patient Safety Culture Framework (MaPSaF)”.

James Reason (1998), dalam suatu kajiannya, mengutip pernyataan Thompson et al (1996) bahwa setidaknya ada dua cara untuk memperlakukan budaya keselamatan yaitu sebagai sesuatu yang di organisasi itu ada (keyakinan, sikap, dan nilai-nilai anggotanya tentang mengejar keselamtan), dan sebagai sesuatu yang dimiliki organisasi (struktur, praktik, kontrol, dan kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan keamanan). Keduanya penting untuk mencapai budaya keselamatan yang efektif.

Referensi :

  1. Keputusan Menteri Kesehatan No 165 Tahun 2023 tentang Standar Akreidtasi Puskesmas.
  2. James Reason, (1998). “Achieving a safe culture theory and practice”.
  3. Nico Lumenta, 2021.” Patient Safety : Harga Mati”.

Kirim pertanyaan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2024 PT. Bahana Mutu Pelayanan Konsultan. All Rights Reserved | powered by Jogja Web Center